Sejak tanggal 17 Agustus 1950, dengan kembalinya RI ke dalam bentuk negara kesatuan, berlakulah UUD Sementara 1950 sebagai pengganti UUD RIS 1949.Negara menganut sistempemerintahan parlementer, di mana para menteri bertanggung jawab kepada badan legislatif (parlemen). Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang tegas dan nyata untuk melakukan kegiatan politik, sehingga berakibat semakin banyak partai-partai politik yang bermunculan. Persaingan secara terbuka antarpartai sangat kentara dalam panggung politik nasional. Masing-masing partai berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya. Akibatnya, pada penyelenggaraan pemilu yang pertama, sejak Indonesia diproklamirkan, sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat pada kabinet baru yang akan berjalan, yaitu akan mantap apabila di dalamnya terdapat koalisi (Ukasah Martadisastra, 1987:144). Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar inidikarenakan tidak ada satu pun partai yang menang secara mayoritas mutlak. Efek negatifnya terhadap kabinet adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo singkat karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen. Akibat selanjutnya, program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan.
Menurut Prof. Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata negara, dasar- dasarnya, memang sudah menjadi pandapat umum di dunia sampai sekarang ini bahwa adanya partai politik dalam negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun, dengan partai yang begitu banyak, tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas terhadap jalannya pemerintahan. Kenyataan itu mengakibatkan terjadinya sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik, di mana di dalamnya memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan sosial serta hak-hak asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan atau partai.
Demokrasi politik dipakai sebagai alasan akan tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsur- unsur feodalisme,malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan.
Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidak mampuan Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950.Yang menonjol adalah persaingan antarpartai politik dari golongannya, sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu halini tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, Presiden Soekarno selaku kepala negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan dan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada
0 komentar:
Posting Komentar