Hubungan antara warga negara dengan negara, menurut Kuncoro Purbopranoto (Cholisin) dapat dilihat dari perspektif hukum, politik, kebudayaan, dan kesusilaan. Namun perspektif yang aktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perspektif hukum dan politik.
Pertama, pandangan dari perspektif hukum didasarkan pada konsepsi bahwa warga negara adalah seluruh individu yang mempunyai ikatan hukum dengan suatu negara (Isjwar). Hubungan hukum antara warga negara dan negara dibedakan atas (i) hubungan sederajat dan tidak sederajat dan (ii) hubungan timbal balik dan timbang timpang. Hubungan hukum yang cocok, antara warga negara dengan negara yang berasaskan kekeluargaan adalah sederajat dan timbal balik. Pendapat ini didasarkan pada pendapat Kuncoro Purbopranoto (Cholisin) tentang governants dan governies atau yang memerintah dan yang diperintah. Dalam konteks pemerintahan seperti ini, tidak lagi dikenal perbedaan sifat atau hakikat, tetapi yang ada adalah perbedaan fungsi, yang pada hakikatnya merupakan kesatuan. Governants dan governies merupakan komponen yang hakikatnya sama-sama berwujud manusia. Oleh karena itu, keduanya sudah seharusnya merupakan satu kesatuan di dalam mewujudkan kehidupan negara yang manusiawi atau berpihak pada manusia. Perbedaan fungsi keduanya adalah perbedaan fungsi yang berimplikasi pada perbedaan tugas. Dalam konteks hubungan yang timbal balik, warga negaradan negara memiliki kedudukan yang tidak sederajat, dapat berakibat pada sulitnya penciptaan hubungan yang harmonis antara keduanya. Pihak yang diletakkan pada kedudukan yang lebih tinggi cenderung akan melakukan tindakan yang berbau dominasi dan hegemoni terhadap pihak yang diletakkan pada kedudukan yang lebih rendah. Hubungan hukum yang sederajat dan timbal balik, sesuai dengan ciri negara hukum Pancasila, meliputi (a) keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan, (b) hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan lembaga negara, (c) prinsip penyelesaian masalah secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir, (d) keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sifat hubungan hukum antara warga negaradengan pemerintah Indonesia dapat diformulasikan sebagai hubungan hukum yang bersifat sederajat dan timbal balik antara hak dan kewajiban. Di dalam pelaksanaan hukum tersebut harus disesuaikan juga dengan tujuan hukum di negara Pancasila, yaitu memelihara dan mengembangkan budi pekerti, kemanusiaan, serta cita-cita moral rakyat yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedua, dari perspektif politik seorang warga negara adalah seorang individu yang bebas serta merupakan anggota suatu masyarakat politik jika bentuk pemerintahan menganut sistem demokrasi. Isjwara memberikan batasan politik sebagai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan, serta pembentukan dan penggunaan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya (Miriam Budihardjo). Hakikat politik adalah kekuasaan atau power, tetapi tidak semua kekuasaan adalah kekuasaan politik. Ossip K. Flechteim membedakan kekuasaan politik menjadi dua macam, yaitu: (a) kekuasaan sosial yang terwujud dalam kekuasaan negara (state power) seperti lembaga pemerintah, parlemen (DPR), presiden; dan (b) kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara. Berdasarkan klasifikasi itu dinyatakan bahwa kekuasaan politik warga negaratermasuk jenis kekuasaan yang kedua dan kekuasaan politik pemerintah merupakan kekuasaan yang pertama. Kegiatan yang dilakukan oleh warga negara terhadap pemerintah atau negara pada dasarnya adalah dalam rangka mempengaruhi pemerintah agar kepentingan-kepentingannya yang berupa nilai politik dapat direalisasikan oleh pemerintah. Bentuk kegiatan politik warga negarauntuk memperoleh nilai-nilai politik tersebut bisa dalam bentuk partisipasi (mempengaruhi pembuatan kebijakan) dan dalam bentuk subyek (terlibat dalam pelaksanaan kebijakan).
Bentuk hubungan politik antara warga negaradengan pemerintah bisa berbentuk kooperatif, yaitu kerja sama saling menguntungkan dan kedudukan mereka masing-masing adalah sejajar, bisa juga kooptatif ataupun dalam bentuk paternalistik (negara sebagai patron dan kelompok sosial tertentu sebagai klien). Bentuk hubungan politik yang berasaskan kekeluargaan yang paling baik adalah bentuk kooperatif karena akan menunjang terciptanya hubungan politik yang harmonis antara warga negara dengan pemerintah. Konteks ini memberikan gambaran bahwa hubungan antara pemimpin dengan rakyat atau lebih khusus lagi antara pamong dan penduduk adalah hubungan timbal balik yang bersifat konstruktif atau hubungan yang saling membantu dan mengawasi, atau yang dapat diistilahkan hubungan yang “mong-kinemong”.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang hubungan warga negara dengan negara (pemerintah), dapat disimpulkan bahwa sifat hubungan politik kooperatif, saling membantu dan mengawasi, adalah yang paling tepat.
0 komentar:
Posting Komentar