Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk’ unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter’ tercela).
Untuk membangun karakter bisa dilakukan dengan berbagai cara, jika menyadari bahwa karakterbukan sesuatu yang sudah ada dari sananya, namun karakter adalah sesuatu yang bisa dibangun dan dibentuk melalui proses. Salah satu cara yang efektif membangun karakter adalah dengan disiplin. KarakterBisa di Bentuk, dalam cacatan sejarah, tercatat nama Helen Keller (1880-1968). Seorang anak manusia yang memiliki keterbatasan yakni sudah buta dan tuli pada usia 19 bulan, dia menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904, ada pemikiran yang hingga saat ini dijadikan pijakan oleh Keller dengan ucapannya: “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”. Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya. Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakteritu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Pentingnya karakter bagi kehidupan manusia, pernah diungkap oleh salah seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: “Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good”.
Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power. Demikianlah makna penting sebuah karakterdan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran - termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal--seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.
0 komentar:
Posting Komentar