Rabu, 23 Oktober 2013

Dasar-dasar Pemikiran perubahan UUD 1945

Dasar pemikiran dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain karena:
Pertama, UUD 1945 membentuk struktur kenegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal itu berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) pada lembaga-lembaga kenegaraan. Penyerahan  kekuasaan  tertinggi  kepada  MPR  merupakan  kunci  yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat.
Kedua, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy), yakni kekuasaan dominan di tangan Presiden. Pada diri Presiden terpusat kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional. Hak-hak konstitusional tersebut lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi). Presiden juga memegang kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Dua cabang kekuasaan negara  yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda, tetapi nyatanya berada di satu tangan (Presiden).
Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal  yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir). Misalnya Pasal 7 UUD 1945(sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya  selama  masa   lima  tahun dan  sesudahnya dapat dipilih  kembali”. Rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan lebih dari satu. Tafsir pertama bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih berkali-kali. Tafsir yang kedua bahwa presiden dan wakil presiden itu hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Rumusan pasal ini pun dapat mendatangkan tafsiran yang beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya adalah orang Indonesia.
Keempat, UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang.
Kelima, Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,
penghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Hal itu membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
  1. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antarlembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
  2. Infrastruktur   politik   yang   dibentuk,   antara   lain   partai   politik   dan organisasi   masyarakat,   kurang   mempunyai   kebebasan   berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
  3. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasi oleh pemerintah.
  4. Kesejahteraan  sosial  berdasarkan  pasal  33  UUD  1945  tidak  tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoly, dan monopsoni.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More