Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, demokrasi berkaitan dengan pengelolaan kehidupan bersama. Menurut asal usul katanya ―demokrasi berarti rakyatlah yang berkuasa, dalam bahasa Yunani demos artinya rakyat dan kratein pengertiannya berkuasa. Unsur demokrasi modern adalah warisan dari kebudayaan Yunani kono, namun sejak saat itu demokrasi dipersoalkan. Plato seorang filosof pada zamannya menentang demokrasi, karena Pemeritah Athena sangat jelek dalam mempraktikkan berdemokrasi sehingga mengadili Sokrates sebagai gurunya. Dalam demokrasi Athena semua warga negara bergantian memegang kekuasaan, sehingga tidak mengherankan jabatan pemerintahan dipegang oleh orang bodoh (Bertens, 2006: 7).
Definsi demokrasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah permerintah oleh rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil mereka yang dipilih melalu pemilihan yang bebas. Demokrasi adalah suatu pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hampir seluruh negara di dunia mengadopsi istilah demokrasi, bahkan penguasa otoriter tetap menggunakan lebel negara demokrasi untuk melegitimasi rezim mereka. Demokrasi pada dasarnya merupakan seperangkat gagasan dan prinsip- prinsip tentang kebebasan, tetapi juga merupakan seperangkat praktik dan presedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang dan berliku-liku (Sunarso,
2004: 29).
Pada masa modern kehidupan demokrasi berfungsi atas dasar perwakilan, wakil-wakil rakyat yang akan memegang pucuk kepemimpinan negara dipilih melalui pemilihan umum dengan menggunakan kendaraan prtai politik. Sebelum Pemilu dilaksanakan, dipilih terlebih dahulu calon wakil rakyat, supaya pemimpin yang berkuasa nanti sungguh-sungguh melayani rakyat dan mempunyai visi yang benar, namun hal ini belum memberi jaminan menjadikan kehidupan demokratis. Bahkan di Indonesia mengalami hal yang sama, delima antara konstituensi (pemilih atau pendukung) partai politik dan kompetensi wakil rakyat dalam berdemokrasi tidak memberikan zamaninan kehidupan yang demokratis (Ignas Kleden, 2003: 1). Personal yang mengatur kehidupan negara dan masyarakat adalah orang-orang yang didukung konstituensinya, atau orang yang memiliki kemampuan bekerja baik, dengan dukungan integritas yang diandalkan. Kehidupan demokrasi Indonesia pernah mencoba untuk mendapatkan formula yang ideal dan diharapkan dapat mendorong kehidupan demokrasi sehat. Kompunen kualifikasi demokrasi tersebut adalah (i) kemampuan dan keahlian dalam bekerja, yang dinamakan kompetensi, (ii) jumlah orang-orang memilih seseorang untuk mewakili mereka, yang dinamkan konstituensi, dan (iii) kesadaran politikus tentang nilai-nilai dan norma yang tidak boleh dilanggar, karena jika dilanggar ia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri, hal terakhir dinamakan integritas (Ignas Kleden, 200f3: 1).
Kompetensi tanpa konstituensi melahirkan teknokrasi, dimana seorang menduduki jabatan politik karena keahliannya tanpa dukungan orang yang memilihnya. Hal ini terjadi pada masa Orde Baru yang menjadikan ekonomi sebagai prioritas utama, karena itu memberikan jabatan politik kepada ekonom- ekonom sehingga melahirkan Mafia Berkeley. Atau pada masa Sukarno teknokrasi dikenal dengan Zakenkabinet, teknokrasi ini masih bisa diterima masyarakat jika para ahli yang menduduki jabatan politis memperlihatkan integritas yang meyakinkan.
Praktik teknokrasi sangat merugikan partisipasi rakyat, karena teknokrat mendapat jabatan politik melalui kemampuannya secara teknik. Oleh karena itu tidak perlu konstituensi pendukungnya sebagai ujud partisipasi masyarakat. Teknokrasi lebih percaya kepada elitisme intelektual yang mengadaikan masalah IPOLEKSOSBUD-Hankam merupkan hal yang kompleks sehinga orang-orang yang ekspert dan kompeten saja yang mampu menanganinya. Partisipasi rakyat dalam hal ini justru dianggap akan memperumit permasalahan yang kompleks seperti kasus-kasus di Indosnesia. Akibatnya kurang baik sering terjadi konflik para mentri dengan anggota DPR tentang kebijakan yang dilakukannya seperti pada masa rajim Suharto.
Ekstrim kedua tejadi sebaliknya partisipasi rakyat di kedepankan, wakil- wakil rakyat yang dapat dianggap menjadi personifikasi dari kelompok tertentu atau mendapat dukungan dari konstituennya yang memerintah menjadi mentri namun tidak ekspert di bidangnya. Hal ini terjdi pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur (Abdulrahman Wahid), seorang mentri yang tidak memiliki begraund teknik justru dijadikan Menristek kerana kedekatannya dengan elit politik dan mewakili partai untuk memerintah. Akibatnya sudah dapat diduga segala perencanaan sebelumnya mengenai pengiriman Sarjana S-2, S-3 ke luar negeri pada masa Presiden Habibi untuk meningkatkan sumber daya manusia lulusannya diterlantarkan. Melihat pengalaman masa lalu idealnya mengambungkan dua konsep di atas sehingga bisa mengakumodasikan partisipasi rakyat dan memilih mentri yang ekspert di bidangnya, sehingga tujuan nasional bisa dicapai, namun tidak mengganngu kehidupan berdemokrasi.
v
0 komentar:
Posting Komentar