Kamis, 05 Desember 2013

Pengertian Demokrasi dan Pelaksanaan Demokrasi





Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, demokrasi berkaitan dengan pengelolaan kehidupan bersama. Menurut asal usul katanya ―demokrasi berarti rakyatlah yang berkuasa, dalam bahasa Yunani demos artinya rakyat dan kratein pengertiannya berkuasa. Unsur demokrasi modern adalah warisan dari kebudayaan Yunani kono, namun sejak saat itu demokrasi dipersoalkan. Plato seorang filosof pada zamannya menentang demokrasi, karena Pemeritah Athena sangat jelek dalam mempraktikkan berdemokrasi sehingga mengadili Sokrates sebagai gurunya. Dalam demokrasi Athena semua warga negara bergantian memegang kekuasaan, sehingga tidak mengherankan jabatan pemerintahan dipegang oleh orang bodoh (Bertens, 2006: 7).

Definsi demokrasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah permerintah oleh rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil mereka yang dipilih melalu pemilihan yang bebas. Demokrasi adalah suatu pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hampir seluruh  negara di dunia mengadopsi istilah demokrasi, bahkan penguasa otoriter tetap menggunakan lebel negara demokrasi untuk melegitimasi rezim mereka. Demokrasi pada dasarnya merupakan seperangkat gagasan dan prinsip- prinsip  tentang  kebebasan,  tetapi  juga  merupakan  seperangkat  praktik  dan presedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang dan berliku-liku (Sunarso,

2004: 29).

Pada masa modern kehidupan demokrasi berfungsi atas dasar perwakilan, wakil-wakil rakyat yang akan memegang pucuk kepemimpinan negara dipilih melalui pemilihan umum dengan menggunakan kendaraan prtai politik. Sebelum Pemilu   dilaksanakan,   dipilih   terlebih      dahulu   calon   wakil   rakyat,   supaya pemimpin  yang  berkuasa  nanti  sungguh-sungguh  melayani  rakyat  dan mempunyai visi yang benar, namun hal ini belum memberi jaminan menjadikan kehidupan demokratis. Bahkan di Indonesia mengalami hal yang sama, delima antara konstituensi (pemilih atau pendukung) partai politik dan kompetensi wakil rakyat dalam berdemokrasi tidak memberikan zamaninan kehidupan yang demokratis (Ignas Kleden, 2003: 1). Personal yang mengatur kehidupan negara dan masyarakat adalah orang-orang yang didukung konstituensinya, atau orang yang memiliki kemampuan bekerja baik, dengan dukungan integritas yang diandalkan. Kehidupan  demokrasi  Indonesia  pernah  mencoba  untuk  mendapatkan  formula yang ideal dan diharapkan dapat mendorong kehidupan demokrasi sehat. Kompunen kualifikasi demokrasi tersebut adalah (i) kemampuan dan keahlian dalam bekerja, yang dinamakan kompetensi, (ii) jumlah orang-orang memilih seseorang   untuk   mewakili   mereka,   yang   dinamkan   konstituensi,   dan   (iii) kesadaran  politikus  tentang  nilai-nilai  dan  norma  yang  tidak  boleh  dilanggar, karena jika dilanggar ia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri, hal terakhir dinamakan integritas (Ignas Kleden, 200f3: 1).

Kompetensi tanpa konstituensi melahirkan teknokrasi, dimana seorang menduduki jabatan politik karena keahliannya tanpa dukungan orang yang memilihnya.  Hal  ini  terjadi  pada  masa  Orde  Baru  yang  menjadikan  ekonomi sebagai prioritas utama, karena itu memberikan jabatan politik kepada ekonom- ekonom sehingga melahirkan Mafia Berkeley. Atau pada masa Sukarno teknokrasi dikenal dengan Zakenkabinet, teknokrasi ini masih bisa diterima masyarakat jika para ahli yang menduduki jabatan politis memperlihatkan integritas yang meyakinkan.

Praktik teknokrasi sangat merugikan partisipasi rakyat, karena teknokrat mendapat jabatan politik melalui kemampuannya secara teknik. Oleh karena itu tidak perlu konstituensi pendukungnya sebagai ujud partisipasi masyarakat. Teknokrasi lebih percaya kepada elitisme intelektual yang mengadaikan masalah IPOLEKSOSBUD-Hankam  merupkan  hal  yang  kompleks  sehinga  orang-orang yang ekspert dan kompeten saja yang mampu menanganinya. Partisipasi rakyat dalam hal ini justru dianggap akan memperumit permasalahan yang kompleks seperti kasus-kasus di Indosnesia. Akibatnya kurang baik sering terjadi konflik para mentri dengan anggota DPR tentang kebijakan yang dilakukannya  seperti pada masa rajim Suharto.

Ekstrim kedua tejadi sebaliknya partisipasi rakyat di kedepankan, wakil- wakil rakyat yang dapat dianggap menjadi personifikasi dari kelompok tertentu atau mendapat dukungan dari konstituennya yang memerintah menjadi mentri namun tidak ekspert di bidangnya. Hal ini terjdi pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur (Abdulrahman Wahid), seorang mentri yang tidak memiliki begraund teknik  justru dijadikan  Menristek  kerana  kedekatannya  dengan  elit  politik  dan mewakili partai untuk memerintah. Akibatnya sudah dapat diduga segala perencanaan sebelumnya mengenai pengiriman Sarjana S-2, S-3 ke luar negeri pada masa  Presiden  Habibi  untuk  meningkatkan  sumber  daya  manusia  lulusannya diterlantarkan. Melihat pengalaman masa lalu idealnya mengambungkan dua konsep di atas sehingga bisa mengakumodasikan partisipasi rakyat dan memilih mentri yang ekspert di bidangnya, sehingga tujuan nasional bisa dicapai, namun tidak mengganngu kehidupan berdemokrasi.



v

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More