Bangsa Indonesia memiliki ciri multi etnis dan multikultural namun sudah tidak memiliki lagi norma fondamental dari nilai-nilai kehidupan bersama, sementara pengaruh global semakin kuat menerpa bangsa, akibatnya integrasi antar etnis semakin pudar dan runtuh. Terjadi konflik antar etnis seperti di Sampit antara Suku Dayak dan Madura, Tantena dan Poso antarta Islam dan Kristen, Konflik Ambon, sparatisme Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan (RMS) Baru, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang telah berdamai. Konflik SARA seperti kasus Achmadiah, konflik anti China dan perusakan, pembakaran dan penutupan tempat-tempat ibadah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penerapan ideologi, nasionalisme, wawasan kebangsaan, terlebih lagi perkembangan politik Indonesia yang semakin jauh dari wawasan kebangsaan dan etika politik sebagaimana terkandung dalam filsafat bangsa karena akibat tekanan globalisasi (Kaelan, 2006:1).
Pancasila secara yuridis formal dijadikan dasar negara dan pandangan hidup, namun kenyataannya bangsa Indonesia belum melaksanakan nilai-nilai Pancasila baik secara obyektif dan sobyektif secara konsekwen. Pancasila hanya sebagai wacana; Pancasila mengajarkan nilai persatuan dan kesatuan, namun yang terjadi justru perpecahan. Pancasila menghendaki keadilan dan pemerataan hasil, namun yang terjadi justru mementingkan diri sendiri dan KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) menggurita. Pancasila mengajarkan toleransi antarumat beragama, namun yang terjadi adalah eksklusifisme, dan menguatnya ikatan primordial. Pancasila menghendaki sosialisasi demokrasi, namun yang muncul adalah penindasan orang-orang lemah dan proses marginalisasi. Pancasila menghendaki terjadinya kemanusiaan universal, namun yang terjadi sebaliknya egoisme, vandalisme (Sujati, 2006: 2).
Disisi lain terjadinya konflik karena lemahnya atau kurangnya pendidikan multikultural sehingga setiap etnis, setiap kelompok merasa diri memiliki wewenang untuk menghakimi, menghukum kelompok yang berbeda dengan dirinya atau menganggap kelompok lain sebagai musuh yang harus dinihilkan. Keadaan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan demokrasi untuk mewujudkan Masyarakat Sipil (Civil Society) atau dalam Masyarakat Terbuka (“Open Society”) masyarakat dikondisikan untuk membuka diri dengan perubahan sesuai dengan jiwa zaman yang selalu berubah untuk mencari kesempurnaan.
Dalam kondisi di atas untuk menghadapi konflik dan perubahan sosial diperlukan pendidikan multikultural agar setiap kelompok etnis, kelompok kepentingan tidak melakukan tindakan distruktif terhadap kelompok lain sehingga diharapkan dapat meredam konflik-konflik yang berbau SARA (Suku antar Golongan Ras dan Agama).
Istilah multikultural secara marak digunakan sekitar tahun 1950 di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictonary, istilah multikultural diambil dari surat kabar yang terbit di Kanada yang menggabarkan sebuah masyarakat Montreal Kanada sebagai masyarakat yang multikultural dan multi bahasa.
Sedangkan Istilah pendidikan multikultural secara sederhana adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan pendapat Paulo Freire yang dikutip oleh Endah Setiorini: ―bahwa pendidikan bukan merupakan menara gading, yang menjauhi realitas sosial- budaya melainkan harus mampu meciptakan tatanan masyarakat yang berpendidikan, berbudaya dan mengedepankan nilai-nilai eqalitarian, demokrasi, kebebasan dan persaudaraan.(Endah Setiarini, 2006: 2).
Pendidikan multikultural merupakan respon dari keragaman populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok etnis. Pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan. Sedangkan secara luas pendidikan multicultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok, baik gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikanyang secara menyeluruh membongkar kekurangan dan kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural didefinisikan tentang pendidikan keragaman budaya dalam perubahan demografis dan budaya masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.
Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru, pendekatan pendidikan multikultural dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogin dan multi etnis. Apalagi pada masa era otonomi daerah dimana konsep sentralisasi bergeser ke desentralisasi dalam kebijakan-kebijakan tertentu. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan perkembagan demokrasi yang sedang dijalankan sekaligus sebagai penyeimbang terhadap kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila kebijakan pendidikan multi kultural dialaksanakan dengan sembrono dan tidak hati-hati justru akan
menyebabkan kedalam perecahan nasional dan disintegrasi bangsa (Aprellina
Setyawati, 2005: 12).
0 komentar:
Posting Komentar