Pendidikan Kewarganegaraanadalah terjemahan dari istilah asing civic education atau citizenship education. Terhadap dua istilah ini, John C. Cogan telah membedakan dengan mengartikan civic education sebagai “...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives” (Cogan, 1999:4), atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen” (Cogan, 1999:4). Artinya, pendidikan kewarganegaraan merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.
Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa Citizenship or Civics Education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching and learning) in that preparatory process. (Kerr, 1999:2). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan (termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar) dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Untuk konteks di Indonesia, citizenship education oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah pendidikan kewarganegaraan (ditulis dengan menggunakan huruf kecil semua) (Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002).untuk kepentingan penulisan diktat ini kedua istilah tersebut digunakan secara bertukar pakai sebagai Pendidikan Kewarganegaraan.
Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship education lebih luas cakupan pengertiannya daripada civic education. Dengan cakupan yang luas ini maka citizenship education meliputi di dalamnya pendidikan kewarganegaraan dalam arti khusus (civic education). Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, sedang civic educationadalah citizenship education yang dilakukan melalui persekolahan.
Zamroni juga telah membedakan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, pendidikan kewarganegaraandimaknai sebagai pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat (ICCE, 2003). Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa (ICCE, 2003).
Mempertegas tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, Cholisin (Samsuri, 2011) berpandangan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan politik yang yang fokus materinya peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Sejalan dengan pendapat Cholisin di atas, Soedijarto (dalam ICCE, 2003) juga mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta dalam membangun sistem politik yang demokratis.
Sementara itu, berkaitan dengan konsep Pendidikan Kewargaan, Azra (dalam ICCE, 2003) memandang bahwa secara substantif istilah Pendidikan Kewargaan tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini sejalan dengan pembedaan pengertian civic education dan citizenship education di atas.
Secara paradigmatik Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga domain, yakni 1) domain akademik; 2) domain kurikuler; dan 3) aktivitas sosial-kultural (Winataputra, 2001). Domain akademik adalah berbagai pemikiran tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang berkembang di lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis pendidikan kewarganegaraan dalam lingkup pendidikan formal dan nonformal. Sedangkan domain sosial kultural adalah konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan masyarakat (Wahab dan Sapriya, 2011:97). Ketiga komponen tersebut secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan warga negara yang baik (good citizens), yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), nilai, sikap dan watak kewarganegaraan(civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan(civic skill).
0 komentar:
Posting Komentar