Negara Indonesia adalah negara yang bersifat plural dalam berbagai hal baik ras, suku, bahasa daerah, adat istiadat, dan agama. Keberagamaman ini bisa merupakan kekayaan bagaikan mosaik yang sangat indah dan berharga jika bisa dekelola dengan baik seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Namun kekayaan ini jika tidak dapat dekelola dengan cerdas akan menjadi ancaman seperti yang terjadi di Balkan, Irak, Srilangka, atau di Libanon. Oleh karena itu kelangsungan hidup bangsa tergantung bagaimana mengelola keberagaman SARA (suku antar golongan ras dan agama) menjadi kekuatan sinergis untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa yang majemuk. Dengan lain perkataan keberagamaan SARA dapat berbanding terbalik, menjadi amunisi disintegrasi atau sebaliknya perbedaan keragaman justru saling melengkapi untuk bekerja sama mewujudkan integrasi nasional demi kepentingan bersama.
Apabila dicermati peristiwa-peristiwa SARA yang terjadi di Indonesia sangat kompleks, namun dapat diindentivikasikan biasanya bersumber pada permasalahan perebutan sumber daya ekonomi, alam, perebutan kekuasaan antara elit, ketidak adilan, kemiskinan, ketidak berdayaan masyarakat bawah, tekanan ekonomi, kelompok yang terpinggirkan, radikalisme agama, kepentingan pemerintah pusat, yang semua saling terkait saling berbenturan. Dalam terori sejarah terjadinya konflik diawali oleh penyebab umum yang kondusif seperti masalah-masalah di atas, maka jika terjadi terjadi peristiwa kecil dapat menyebabkan pemicu terjadinya konflik masal. Pada umunya perbedaan agama paling mudah digunakan untuk mencari simpati, empati dan menggalang masa demi kepentingan kelompok tertentu.
Negara Indonesai bukan negara agama, namun nilai-nilai agama dijunjung tinggi, dalam arti bahwa negara Indosia berdasarkan Pancasila yang menghargai norma-norma keagamaan secara universal. Nilai-nilai kemanusiaan sangat dihargai seperti rasa toleransi dalam “teposliro”, berimpati dan “bergotong royong”, bekerja sama dalam hal kebaikan. Oleh karena itu segala bentuk kekerasan, tindak kriminal, orogansi yang selama ini terjadi di wilayah Indosnesia perlu dipertanyakan hal ini bertentangan dengan budaya bangsa (Baskoro, 2005: 2).
Analisis kami peristiwa-peristiwa konflik di Indonesia ada beberara kemungkinan penyebabnya; selain tekanan ekonomi, perubahan sosial politik karena globalisasi, ada indikasi ajaran radikalisme agama yang secara subtansial ingin mengubah tatanan masyarakat yang sudah mapan dengan ideologi agama dan bekerja sama dengan elit lokal untuk kepentingan politiknya. Oleh karena itu salah satu solusi yang sangat diperlukan adalah mengaktifkan kembali kerukunan antara umat beragama, baik rukun antar agamanya sendiri-sendiri meskipun ini sulit di zaman demokrasi, rukun antar agama yang brbeda, dan rukun dengan pemerintah melalui ajaran agama yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan. Pentingnya pengembangan sikap tolerasi antara umat beragama harus dikedepankan, dan menghindari sikap eksklusif tetapi mengembangkan sikap inklusif keagamaan dalam ajaran masing-masing, selain menghindari sikap fanatisme sempit yang menganggap orang di luar agamanya menjadi musuh yang harus disingkirkan.
Definisi kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam negara Kesatuan Repblik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006, Nomot 8 Tahun 2006, Bab I pasal 1).
Kerukunan antarumat beragama ini bisa terwujud jika ada toleransi saling memahami, menghormati, menghargai, kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing dan membangun kerja sama yang positif dan produktif. Menurut Maria Van Der Hoeven Mentri Pendidikan Belanda dalam lawatannya ke Indonesia mengemukakan kerukunan antarumat beragama merupakan kunci dalam mewujudkan Civil Society. Pengembangan kehidupan agama, pendidikan dan pemerintahan yang demokratis adalah kunci pengembangan masyarakat sipil. Agama perlu diajarkan di lembaga pendidikan secara terbuka dan tidak dogmatis demi penanaman pemahaman antarumat beragama. Penguatan kehidupan keagamaan masyarakat dengan memberi kebebasan penuh dalam hidup beragama justru akan mensuport masyarakat yang lebih demokratis.
Pendidikan kerukunan antarumat beragama diharapkan dapat terintegrasi seperti di Belanda yang terdapat agama Katolik. Kristen, Yahudi dan Islam. Untuk membangun kehidupan sipil yang baik pemerintah memfasilitasi pendidikan agama yang diajarkan secara terbuka dan tidak dogmatik. Siswa yang beragama Kristen (sebagai agama mayoritas) mempelajari agama lain atau sebaliknya dan selain itu diadakan dialog antar agama secara ilmiah. Rektor UMY Yogyakarta Dr. Khoirudin Bashori sependapat untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama perlu diadakan pendidikan agama dengan pendekatan demokratis, dengan sendirinya pengembangan kurikulum bisa mengarah pada pengembangan masyarakat demokratis. Pembelajaran pendidikan agama seharusnya tidak dilakukan secara dogmatik dan eksklusif.
Pengembangan pendidikan, pemerintahan yang demokratis, dan pendidikan agama seharusnya terintegrasi, sehingga terjadi hubungan yang harmonis dalam upaya pembangunan masyarakat sipil. Pendidikan agama harus ditanamkan pemahaman tentang karakteristik dan kultur agama yang berbeda- beda. Cara ini dapat meminimalkan munculnya kesalah pahaman antarumat beragama. Pendidikan agama yang terbuka di Belanda dapat ditiru dan diterapkan di Indonesia sehingga bisa meminimalkan konflik SARA dan tercapai kerukunan antarumat beragama (Kompas, 6 Mei 2006, hal G).
Masyarakat sipil yang demokratis akan kuat jika terdapat sinergi antarumat beragama dalam membangun proyek-proyek yang dihadapi bangsa secara bersama-sama. Misalnya dalam mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, membrantas pornografi – pornoaksi, menangani kekurangan gizi balita masyarakat marginal, menangai kasus perburuhan, membrantas Pekat, dan memajukan pembangunan di segala bidang, Dengan adanya kerja sama yang sinergis baik pemimpin agama, persaudaraan antarumat dan kerja sama dengan pemerintah maka freksi-freksi, kerusahan dan kekerasan agama bisa diminimalisasikan sehingga masyarakat sipil yang diidam-idamkan bisa terwujud.
Dalam suatu teori sistem semakin banyak jaringan-jaringan dalam masyarakat maka keadaan masyarakat itu akan kuat. Oleh karena elemen-elemen masyarakat yang ada saling berhubungan dan saling membutuhkan sekaligus membentuk jaringan kuat. Tiap-tiap individu memiliki komunitas-komunitas lebih dari satu organisasi, sehingga jika terjadi konflik dimasyarakat akan memiliki berbagai mediasi untuk menyelesaikan konflik atau freksi-freksi yang terjadi dengan memberdayakan jaringan yang ada. Dalam masyarakat yang heterogin seperti Yogyakarta meskipun terdiri lintas SARA tidak akan terjadi konflik-konflik seperti di Poso, Tantena, Ambon, Sanggoledo atau seperti di Aceh. Oleh karena selain masyarakatnya cukup terpelajar, banyak organisasi-orangasasi sosial kemasyarakatan yang baerwawawasan lintas SARA seperti lembaga kerukunan antara umat Yogyakarta untuk memelihara kerukunan antarumat beragama,
0 komentar:
Posting Komentar