Senin, 11 November 2013

Contoh-contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia


Banyak pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah, aparat keamanan, maupun oleh masyarakat. Banyak korban akibat konflik sosial dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia. Misalnya, korban hilang dalam berbagai
kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon, dan Papua yang diperkirakan ada 1.148 orang. Tampaknya keprihatinan kita belum berhenti sampai di situ. Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12 November 2002 telah memakan korban meninggal dunia sekitar 181 orang dan ratusan yang luka-luka. Apalagi yang menjadi korban kebanyakan adalah para turis mancanegara yang datang sebagai tamu di negara kita yang mestinya harus dijamin keamanannya.
Fenomena lain yang juga mengundang keprihatinan kita dalam kehidupan sehari-hari antara lain kita menyaksikan anak-anak di bawah umur 18 tahun harus bekerja   mencari   uang   untuk   memenuhi   kebutuhan   hidupnya   atau   untuk membantu keluarganya. Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan ada pula yang dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka  telah  kehilangan  kebebasannya  sebagai  anak  untuk  menikmati  masa kanak-kanak dan remaja. Demikian pula kesempatan untuk mengembangkan potensinya, karena terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah atau aparat keamanan. Pertama, kasus Marsinah. Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT CPS pada tanggal 3 4 Mei 1993. Aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa kawan-kawannya. Pada 5 Mei 1993 Marsinah ―menghilang‖, dan akhirnya pada 9 Mei 1993, ia ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di hutan Wilangan, Nganjuk. Kedua, Kasus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ujung Pandang, 26 April 1996. Awal dari kerusuhan tersebut bermula pada aksi unjuk rasa mahasiswa UMI terhadap kenaikan tarif angkutan kota yang memberatkan kalangan pelajar dan mahasiswa yang dikenai aturan lebih dari yang ditetapkan  Menteri  Perhubungan  sebesar  Rp100,00.  Namun  sayangnya,  aparat





keamanan bersikap berlebihan dan represif dalam menghadapi pengunjuk rasa, sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa di pihak mahasiswa yang menyerbu kampus  UMI dan menembak dengan  peluru tajam sehingga jatuh korban. Ketiga, kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah, 23 Juli 1999. Tengku Bantaqiah adalah seorang tokoh ulama terkemuka di Aceh. Kasus ini bermula dari informasi adanya sejumlah senjata di salah seorang tokoh Dayah Bale. Untuk mendalami informasi tersebut pada tanggal 23 Juli 1999, Danrem menugaskan Kasi Intelnya untuk melaksanakan penyelidikan. Operasi ini ternyata mengakibatkan pengikut Tengku Bantaqiah ditembaki oleh aparat setempat. Sebanyak 51 orang termasuk Tengku Bantaqiah tewas. Berdasarkan penyelidikan, sebanyak 24 orang anggota TNI dinyatakan sebagai tersangka, termasuk di dalamnya Letkol Inf. Sudjono. Hilangnya Letkol Inf. Sudjono (Kasi Intel Korem
011/Lilawangsa) tentu saja membuat penyelesaian kasus ini menjadi terhambat, karena motivasi pembantaian itu menjadi kabur. Apakah pembantaian itu merupakan kebijakan yang diambil dalam satu kerangka kebijakan mengatasi masalah Aceh ataukah semata-mata karena tindakan yang diambil atas pertimbangan kondisi lapangan.
Beberapa   pelanggaran   HAM   yang   lain   yang   sedang   dituntut   oleh masyarakat untuk diselesaikan melalui Pengadilan HAM antara lain Kasus Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat orang mahasiswa. Kemudian Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timor Timur yang ditandai dengan praktik bumi hangus, pembunuhan massal di Gereja Suai, pembunuhan di Los Palos, Maliana, Liquisa, dan Dili. Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timtim telah disidangkan lewat Peradilan HAM ad hoc. Kemudian contoh-contoh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh masyarakat terutama tampak pada berbagai kasus konflik di berbagai daerah, seperti kasus Sanggauledo, Tasikmalaya, Maluku, dan Ambon. Sedangkan jika diamati dalam kehidupan sehari-hari kasus pelanggaran oleh perorangan atau masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pengeroyokan, pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau tertangkap basah melakukan  pencurian.  Kebiasaan  pengeroyokan  sebagai  bentuk  main  hakim sendiri dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan para pelajar. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab. Mestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat seperti melakukan perdamaian, mengacu pada aturan main yang berlaku, atau melalui lembaga-lembaga yang ada.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More