Banyak pelanggaran HAM di Indonesia,
baik yang dilakukan pemerintah,
aparat keamanan, maupun oleh masyarakat. Banyak korban akibat konflik
sosial dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia.
Misalnya, korban hilang dalam berbagai
kerusuhan di Jakarta, Aceh,
Ambon, dan Papua yang diperkirakan ada 1.148 orang. Tampaknya keprihatinan kita belum berhenti sampai di situ. Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12 November
2002 telah memakan korban meninggal dunia sekitar 181 orang dan ratusan yang luka-luka. Apalagi
yang menjadi korban kebanyakan adalah para
turis mancanegara yang datang sebagai tamu di negara kita
yang mestinya harus dijamin keamanannya.
Fenomena lain yang
juga mengundang keprihatinan kita dalam kehidupan
sehari-hari antara lain kita menyaksikan anak-anak di bawah umur 18 tahun harus bekerja
mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya atau untuk membantu keluarganya.
Ada yang menjadi pengamen di
jalanan, menjadi buruh, bahkan ada pula yang dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut.
Mereka telah kehilangan kebebasannya sebagai
anak untuk
menikmati masa
kanak-kanak dan remaja. Demikian pula kesempatan untuk mengembangkan
potensinya, karena terpaksa harus
meninggalkan bangku sekolah.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah
atau aparat keamanan. Pertama, kasus Marsinah.
Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT CPS pada tanggal 3 – 4 Mei 1993. Aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh.
Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang
menimpa kawan-kawannya. Pada 5 Mei 1993 Marsinah ―menghilang‖, dan
akhirnya pada 9 Mei 1993, ia ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di hutan Wilangan, Nganjuk. Kedua, Kasus Universitas Muslim Indonesia (UMI),
Ujung Pandang, 26 April 1996. Awal dari kerusuhan tersebut bermula pada aksi unjuk rasa mahasiswa UMI terhadap kenaikan tarif angkutan kota yang memberatkan kalangan
pelajar dan mahasiswa yang dikenai aturan
lebih dari yang
ditetapkan Menteri Perhubungan sebesar
Rp100,00. Namun sayangnya,
aparat
keamanan bersikap
berlebihan dan represif dalam menghadapi pengunjuk rasa,
sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa di pihak
mahasiswa yang menyerbu kampus UMI dan menembak dengan peluru tajam sehingga jatuh korban. Ketiga, kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah, 23 Juli 1999.
Tengku Bantaqiah adalah seorang tokoh ulama terkemuka di Aceh.
Kasus ini bermula dari
informasi adanya
sejumlah senjata di
salah seorang tokoh Dayah Bale.
Untuk
mendalami informasi tersebut pada
tanggal 23
Juli 1999, Danrem
menugaskan Kasi Intelnya untuk melaksanakan
penyelidikan. Operasi ini ternyata
mengakibatkan pengikut Tengku Bantaqiah ditembaki oleh aparat
setempat. Sebanyak 51 orang termasuk Tengku Bantaqiah
tewas. Berdasarkan penyelidikan, sebanyak 24 orang anggota TNI dinyatakan sebagai
tersangka, termasuk di dalamnya Letkol Inf. Sudjono. Hilangnya Letkol Inf. Sudjono (Kasi Intel Korem
011/Lilawangsa) tentu saja membuat penyelesaian kasus ini menjadi terhambat,
karena motivasi pembantaian itu
menjadi kabur. Apakah pembantaian itu merupakan kebijakan yang diambil dalam satu kerangka kebijakan
mengatasi masalah Aceh ataukah semata-mata karena tindakan yang diambil atas pertimbangan kondisi lapangan.
Beberapa pelanggaran
HAM
yang lain yang sedang dituntut oleh masyarakat untuk diselesaikan melalui Pengadilan HAM
antara lain Kasus Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat orang mahasiswa. Kemudian Kasus Pasca
Jejak
Pendapat di Timor Timur yang ditandai dengan praktik
bumi hangus, pembunuhan massal di Gereja Suai, pembunuhan di Los Palos, Maliana,
Liquisa, dan Dili. Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timtim telah disidangkan lewat
Peradilan HAM ad hoc. Kemudian contoh-contoh pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh
masyarakat terutama tampak pada
berbagai kasus konflik
di berbagai daerah,
seperti kasus Sanggauledo, Tasikmalaya, Maluku, dan Ambon. Sedangkan jika
diamati dalam kehidupan sehari-hari kasus pelanggaran oleh perorangan atau masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pengeroyokan, pembakaran
sampai tewas terhadap orang yang dituduh
atau tertangkap basah
melakukan pencurian. Kebiasaan
pengeroyokan sebagai
bentuk main hakim
sendiri dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga
tampak sangat kuat di kalangan para pelajar. Hal ini tentunya
sangat memprihatinkan karena mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab. Mestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan cara-cara yang
bermartabat seperti melakukan perdamaian, mengacu pada aturan main yang berlaku, atau melalui
lembaga-lembaga
yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar