Selasa, 22 Oktober 2013

Teori Pembangunan Kontemporer-Teori Sistem Dunia

Secara historis, program-program modernisasi pada tahun 1960-an di negara- negara Dunia Ketiga banyak mengalami kegagalan, sehingga mendorong munculnya teori Dependensi dengan aliran madzhab neo-Marxis yang mendasarinya. Teori Dependensi ini kemudian melakukan kritikan terhadap teori Modernisasi dan menuduhnya sebagai bentuk rasionalisasi dari imperialisme. Perdebatan antara dua kelompok teori ini menghangat pada tahun 1970-an. Pada saat inilah Immanuel Wallerstein menilai bahwa tata ekonomi kapitalis dunia tidak dapat dijelaskan hanya oleh dua perspektif teori yang telah mapan tersebut. Dalam hal ini Wallerstein mengajukan beberapa fakta yaitu:
1. Negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong,            Malaysia    dan    Singapura    telah    mampu    mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa melakukan teori Modernisasi sebagaimana yang dipropagandakan oleh AS. Mereka juga tidak mengalami ketergantungan sebagaimana diusulkan oleh teori Dependensi.Ini merupakan tantangan serius bagi kekuatan ekonomi
AS. 
2. Adanya krisis di berbagai negara sosialis yang diawali dengan perpecahan di Republik Rakyat Cina dan runtuhnya Uni Soviet.
3. Fenomena krisis di Amerika Serikat akibat keterlibatannya dalam perang-perang di beberapa negara Dunia Ketiga, krisis Watergate, embargo minyak tahun 1975, inflasi dan stagnasi ekonomi Amerika Serikat akhir tahun 1970-an, adalah merupakan tanda mulai robohnya hegemoni ekonomi Amerika Serikat atas negara Dunia Ketiga.
Tiga hal pokok tersebut menjadi latar belakang historis kemunculan teori world empire yang diusulkan oleh Immanuel Wallerstein. Dengan menggunakan kerangka pemikiran neo-Marxis, ia dan beberapa sosiologi lainnya melakukan kajian terhadap  pembangunan  di  negara  Dunia  Ketiga  dengan  perpektif  yang  berbeda dengan teori Modernisasi dan Dependensi.
Asumsi dasar dari teori ini menyatakan bahwa dunia awalnya dikuasai oleh kekuatan lokal dengan sistemnya masing-masing, lalu kekuatan ini saling menjalin hubungan walaupun terpisahkan lokalitasnya. Kemudian terjadi penggabungan sistem baik oleh penaklukan atau penyerahan sukarela. Sebuah Kerajaan Dunia (World Empire) kemudian muncul dan mengendalikan sistem ekonomi-politik dari sistem- sistem negara dibawahnya secara terpusat, walaupun tidak secara yuridis. World Empire inilah yang sekarang mengendalikan negara-negara di dunia.
Dengan tinjauan teoritik tersebut, muncul tiga klasifikasi negara dan fungsi ekonominya antara satu dengan lainnya, tiga klasifikasi tersebut adalah:
1.   Negara Pusat, mengambil keuntungan dari:
2.   Negara Pusat-Pinggiran, mengambil keuntungan dari:
3.   Negara Pinggiran, pihak yang paling dieksploitir.
Wallerstein tidak sepakat dengan pendekatan Dependensi yang melihat bahwa dalam ketergantungan yang terjadi, hanya ada dua jenis negara yaitu negara pusat dan negara pinggiran. Dalam kata lain ada negara metro dan ada juga negara satelit. Ketidaksepakatan   ini   berangkat   dari   anggapan   bahwa   dunia,   negara   dan pembangunan yang sedang dan akan terjadi ini tidak begitu kompleks. Tidak sesederhana seperti yang dijelaskan oleh teori Dependensi dengan penggolongan tersebut. Untuk itulah kemudian ia mengusulkan adanya tiga klasifikasi negara yang kini sedang muncul di dunia.
Lebih lanjut, tiap negara dilihat dalam bingkai sistem dunia secara utuh dan tidak  dapat  berdiri  sendiri.  Tiap  negara  dalam  kasta  tersebut  naik  status  menuju negara dengan tingkat kemakmuran lebih baik. Menurut Immanuel Wallerstein, ada tiga strategi bagi sebuah negara untuk dapat menaikkan kastanya dalam konsep world empire, yaitu:
1)  Berani merebut kesempatan untuk berspekulasi melakukan industrialisasi substitusi barang impor oleh negara pinggiran. Ketika hal ini berani dilakukan oleh negara pinggiran, maka ia akan dapat menyiapkan ancang- ancang  untuk  tidak  tergantung  oleh  negara  pusat  dalam  hal  pasokan barang-barang baku industri di dalam negerinya sendiri;
2)  Menarik investasi perusahaan luar negeri untuk mendirikan perusahaan multinasional dan   menggandeng pengusaha lokal. Dalam hal ini, peran
negara menjadi sangat vital karena institusi yang bernama negara yang mampu melakukan koordinasi dan memberikan perlindungan terhadap usaha kecil domestik yang pada umumnya memiliki modal, tenaga ahli dan wilayah pemasaran produksi terbatas. Jenis industri domestik dalam skala internasional jelas memerlukan dana yang tidak sedikit karena ia akan bersaing dengan produk unggulan negara-negara maju yang sudah memiliki pangsa pasar jelas dengan kualitas yang telah teruji. Yang dapat mengawal hal ini adalah negara yang menjadi institusi politik tertinggi dalam sebuah kawasan;
3) Negara   menjalankan   kebijaka internal   untuk   memandirikan perekonomian negaranya sendiri dan terbebas dari dominasi negara pusat. Salah satu kebijakan internal tersebut dapat berupa politik dumping atau proteksi atas produk-produk industri dalam negeri yang membanjiri pasar dalam negeri. Proteksi ini juga menuntut perlindungan dari sisi kebijakan ekonomi yang merupakan otoritasa pemerintah negara pinggiran dan pasokan modal    yang    juga    harus    diperbantukan    untuk    mampu meningkatkan  industri  tersebut  menjadi  usaha  yang  lebih  besar  dan mampu bersaing dengan industri luar negeri lainnya. Selain itu, pemerintahan negara pinggiran juga harus mulai menyiapkan tenaga ahli dalam negeri untuk pada saatnya nanti mereka dapat mengembangkan teknologi industri domestik. Dengan peningkatan penguasaan teknologi industri domestik, maka produk industri dalam negeri akan dapat bersaing ditengah pasar global yang sedang berjalan. Dengan survive-nya industri domestik, maka pendapatan nasional sebuah negara akan berpotensi mengalami surplus pertumbuhan ekonomi. Surplus pertumbuhan ekonomi dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran yang diharapkan oleh tiap proses pembangunan.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More