Jumat, 25 Oktober 2013

Modernisasi dan Pembangunan Menurut Max Weber

Tesis utama Weber tentang pembangunan bermuara pada ide yang ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism setelah melakukan   penelitian   terhadap   korelasi   etika   Protestan   terhadap   kemajuan Kapitalisme  di  Eropa,  khususnya  di  Jerman  dan  Inggris.  Sebelumnya,  sebagai seorang sosiolog agama, ia mendasarkan bahwa mobilitas masyarakat dalam membangun dirinya, tidak sepenuhnya ditentukan oleh motivasi ekonomi semata, namun  lebih  dipengaruhi  oleh  nilai  budaya  yang  mempengaruhi  tingkah  laku masyarakat tersebut.
Weber menemukan bahwa pemeluk Protestan di Eropa memiliki dan mengamalkan   nilai-nilai   pemikiran   Calvinis   dan   Asketis   dalam   kehidupan ekonominya sehari-hari. Dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah  bersifat  manusiawi,  namun  yang  menentukan  tingkat  kemakmuran  yang dicapai seseorang lebih ditentukan oleh  sikap dan perilaku orang tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perilaku seseorang dalam aktifitas ekonominya, di Eropa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah mengakar kuat, yaitu etika Protestan. Sehingga Weber melihat bahwa agama Protestan berjasa besar atas perkembangan Kapitalisme di Eropa.
Kaum Protestan yang diteliti Weber memberikan deskripsi bahwa dunia dan segala   isinya   dipaham sebagai   pemberian   Tuhan   yang   harus   dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kerja dianggap sebagai sebuah panggilan Tuhan yang bersifat suci dalam rangka memanfaatkan dunia tersebut. Jika penganut Protestan tidak mau bekerja, maka sebenarnya penganut tersebut telah menolak Tuhan dalam kehidupannya.  Adalah  menjadi  dosa  tersendiri  ketika  menolak  Tuhan.  Ketakutan akan dosa yang berdampingan dengan kepentingan produktifitas inilah yang menjadi nilai dasar dari etika Protestan. Dengan kata lain, ketaatan transendental penganut Protestan dapat diukur dari gairah kerja yang dimilikinya. 
Logika semacam ini membawa pada asumsi bahwa ada korelasi positif antara ketaatan dan kemampuan ekonomis yang dimiliki oleh penganut Protestan. Semakin banyak kepemilikan harta pemeluk Protestan, maka makin tebal keimanannya pada Tuhan. Sebaliknya, jika semakin sedikit kepemilikan harta pemeluk Protestan, maka dapat ditegaskan bahwa keimanannya pada Tuhan juga rendah.
Yang juga menarik, Weber menemukan bahwa Kapitalisme di Eropa dapat berkembang karena nilai-nilai asketis dalam doktrin Protestan. Peringatan untuk tidak cepat berpuas diri akan keberhasilan yang telah didapatkan adalah asumsi dasar dari pemikiran ini. Hipotesis utama Kapitalisme adalah penguasaan modal sebesar- besarnya. Artinya, tiap subyek manusia yang menganut ideologi pembangunan ini diasumsikan akan terus berupaya untuk menguasai modal agar dapat menentukan penguasaan ekonomi olehnya. Ia akan berusaha untuk terus mendapatkan modal yang dapat menguasai kebutuhan orang banyak. Salah satu upaya menguasai modal adalah dengan  menekankan  hidup  sederhana  dan  memperbanyak  saving  sumber  dana material agar nantinya akan dapat dijadikan modal usaha baru atau memperbesar usaha ekonomi yang telah dilakukan.
Kaum Calvinis melawan tradisi pemikiran sebelumnya yang menyatakan bahwa bekerja keras untuk menumpuk harta dan menikmatinya dengan berfoya-foya adalah sebuah dosa besar dimata Tuhan. Calvinis berpendapat bahwa orang harus bekerja keras untuk mendapatkan harta secara maksimal, namun penguasaan harta tersebut diharuskan dapat membawa keselamatan bagi dirinya dan orang di sekelilingnya.  Adapun  keselamatan  tersebut,  dalam pandangan  teologi  calvinisme adalah bagian dari pancaran kasih Tuhan yang diberikan kepada hambanya. Wujud kasih tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan derma atau amal kepada orang sekeliling yang membutuhkan dengan harta, fasilitas hidup, atau tenaga yang dimiliki dengan proses perolehan yang maksimal.
Dalam pandangan tentang relasi antara Kapitalisme dan agama Protestan ini, Weber menekankan bahwa Kapitalisme yang telah matang atau dewasa bukan didasarkan pada keinginan untuk mengumpulkan keuntungan semata-mata, namun lebih merupakan aktifitas rasional yang menekankan akan order atau keteraturan, disiplin dan hirarkhi dalam sebuah organisasi. Kapitalisme yang telah dewasa tidak lagi  hanya  berbicara  tentang  penguasaan  modal  untuk  mencapai  kekayaan  saja, namun lebih menitik-beratkan pada dasar rasionalitas dalam tiap aktifitas dan selalu berorientasi pada pencapaian keteraturan, kedisiplinan, dan berjalannya fungsi dalam hirarkhi organisasi.
Kapitalisme yang telah mencapai taraf dewasa tidak mementingkan harta dan kekayaan dalam mencapai kebahagiaan, karena tidak selamanya kebahagiaan dapat ditentukan secara material dari kekayaan yang dimiliki. Ada kebahagiaan batin yang tidak dapat dibeli secara materiil oleh kekayaan yang dimiliki seseorang. Pemenuhan kebutuhan  atau  kebahagiaan  batin  inilah  yang  kemudian  menjadi  karakter  utama dalam kondisi kapitalisme yang sudah dewasa.
Hal ini dalam konteks spirit Protestan sangat wajar karena dalam Etika Protestan, pengumpulan dan penumpukan harta sebanyak-banyaknya bukanlah suatu larangan,  akan  tetapi  yang  terpenting  adalah  bagaimana  keselamatan  mampu didapatkan  dengan  pengumpulan  kekayaan  tersebut.  Artinya,  orientasi  akhir  dari besar  dan  banyaknya  kekayaan  adalah  untuk  kebahagiaan  batin  dari  pemiliknya, bukan kekayaan itu sendiri.
Pada kasus yang lebih khusus, orientasi penganut Protestan Calvinis dalam bekerja keras bukan meraih kesuksesan tanpa pamrih. Artinya, kekayaan material yang  didapatkan  sebgai  hasil  dari  usaha  tersebut  bukanlah  tujuan  utama,  namun hanya  sebagai  konsekwensi  logis  semata  karena  sudah  bekerja  secara  maksimal. Yang  menjadi  orientasi  dasar  dalam  bekerja  keras  dalam  kelompok  penganut Protestan Calvinis adalah upaya untuk mengatasi kecemasan. Cemas, gundah dan takut jika tetap berpangku tangan, maka sebenarnya mereka telah melanggar perintah Tuhan dan tidak ada kebahagiaan dalam batin karena telah melanggar perintah tersebut.
Kekayaan material yang didapatkan diyakini oleh kelompok ini bukan karena kerja keras yang telah mereka lakukan, namun semata-mata hanya sebagai hasil sampingan   yang   tidak   disengaja   atas   kerja   tersebut.   Hasil   akhirnya   adalah keberhasilan untuk melaksanakan perintah Tuhan dan keberhasilan mereduksi atau menghilangkan kegelisahan batin yang terjadi pada diri mereka sendiri. Jadi bukan kekayaan yang menjadi orientasi utama ketika bekerja keras dalam pandangan kelompok Protestan Calvinis, namun kebahagiaan batinlah yang menjadi orientasi utama, karena kekayaan ini hanya hasil sampingan atas kerja, sedangkan tujuan awalnya adalah kebahagiaan batin.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More