Weber
menemukan bahwa pemeluk Protestan di Eropa memiliki
dan mengamalkan
nilai-nilai pemikiran Calvinis
dan Asketis dalam
kehidupan ekonominya sehari-hari. Dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya adalah bersifat manusiawi,
namun yang
menentukan tingkat
kemakmuran yang dicapai
seseorang lebih ditentukan oleh sikap dan perilaku orang
tersebut dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Perilaku seseorang dalam aktifitas ekonominya, di Eropa
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah mengakar kuat,
yaitu etika Protestan. Sehingga Weber melihat bahwa agama Protestan
berjasa besar atas perkembangan
Kapitalisme di Eropa.
Kaum Protestan yang diteliti Weber memberikan deskripsi bahwa dunia dan segala
isinya dipahami sebagai pemberian Tuhan
yang
harus
dimanfaatkan
semaksimal mungkin.
Kerja dianggap sebagai
sebuah panggilan Tuhan yang bersifat suci dalam
rangka memanfaatkan dunia tersebut. Jika penganut Protestan tidak mau
bekerja, maka sebenarnya penganut
tersebut telah menolak Tuhan dalam
kehidupannya. Adalah menjadi dosa
tersendiri ketika
menolak Tuhan. Ketakutan akan dosa yang berdampingan dengan
kepentingan produktifitas inilah yang menjadi nilai dasar dari etika Protestan. Dengan kata lain, ketaatan
transendental penganut Protestan dapat diukur
dari gairah kerja yang dimilikinya.
Logika semacam
ini membawa pada asumsi bahwa ada korelasi positif antara ketaatan dan kemampuan ekonomis yang dimiliki oleh penganut Protestan. Semakin
banyak kepemilikan harta pemeluk Protestan, maka makin tebal keimanannya
pada Tuhan. Sebaliknya, jika semakin
sedikit kepemilikan harta pemeluk Protestan, maka dapat ditegaskan bahwa keimanannya pada Tuhan juga rendah.
Yang juga menarik, Weber menemukan
bahwa Kapitalisme di Eropa dapat berkembang karena nilai-nilai asketis dalam doktrin Protestan. Peringatan untuk tidak
cepat berpuas diri akan keberhasilan yang telah didapatkan adalah asumsi dasar dari pemikiran ini. Hipotesis
utama Kapitalisme adalah penguasaan
modal sebesar- besarnya. Artinya, tiap subyek manusia yang menganut
ideologi pembangunan ini diasumsikan akan terus berupaya untuk menguasai
modal agar dapat menentukan penguasaan ekonomi olehnya.
Ia akan berusaha untuk terus mendapatkan modal yang dapat menguasai kebutuhan orang banyak. Salah
satu upaya menguasai modal adalah
dengan menekankan hidup sederhana dan memperbanyak
saving sumber
dana
material agar nantinya akan dapat dijadikan modal
usaha baru atau memperbesar
usaha ekonomi yang telah dilakukan.
Kaum Calvinis melawan tradisi pemikiran sebelumnya yang menyatakan bahwa bekerja keras untuk menumpuk harta
dan menikmatinya dengan berfoya-foya adalah sebuah dosa besar dimata Tuhan. Calvinis berpendapat bahwa orang harus
bekerja keras untuk mendapatkan harta secara maksimal,
namun penguasaan harta tersebut diharuskan dapat membawa keselamatan bagi dirinya dan orang di
sekelilingnya. Adapun keselamatan tersebut, dalam pandangan teologi calvinisme adalah bagian dari pancaran
kasih Tuhan yang diberikan
kepada hambanya. Wujud kasih tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan derma atau amal kepada orang sekeliling yang membutuhkan dengan harta, fasilitas hidup, atau tenaga yang dimiliki dengan proses perolehan yang maksimal.
Dalam pandangan tentang relasi antara Kapitalisme dan agama Protestan ini, Weber menekankan bahwa Kapitalisme
yang telah matang atau dewasa bukan didasarkan
pada keinginan untuk mengumpulkan keuntungan semata-mata, namun lebih merupakan
aktifitas rasional yang menekankan
akan order atau keteraturan, disiplin dan hirarkhi dalam
sebuah organisasi. Kapitalisme yang telah dewasa tidak lagi hanya berbicara
tentang
penguasaan modal
untuk
mencapai
kekayaan
saja,
namun lebih menitik-beratkan pada dasar rasionalitas dalam tiap
aktifitas dan selalu berorientasi pada pencapaian
keteraturan, kedisiplinan, dan berjalannya fungsi dalam hirarkhi organisasi.
Kapitalisme
yang telah mencapai taraf dewasa
tidak mementingkan harta dan
kekayaan dalam mencapai kebahagiaan, karena tidak selamanya kebahagiaan dapat ditentukan secara material dari kekayaan yang dimiliki.
Ada kebahagiaan batin yang tidak dapat dibeli secara materiil oleh kekayaan yang dimiliki seseorang.
Pemenuhan kebutuhan atau kebahagiaan batin inilah yang kemudian
menjadi karakter utama dalam kondisi
kapitalisme yang sudah dewasa.
Hal ini dalam konteks spirit Protestan sangat wajar karena dalam
Etika Protestan, pengumpulan dan
penumpukan harta sebanyak-banyaknya bukanlah suatu larangan, akan
tetapi
yang
terpenting
adalah
bagaimana keselamatan
mampu didapatkan dengan
pengumpulan kekayaan
tersebut. Artinya,
orientasi akhir dari besar dan banyaknya
kekayaan adalah
untuk kebahagiaan batin dari pemiliknya,
bukan kekayaan itu sendiri.
Pada kasus yang lebih khusus, orientasi penganut
Protestan Calvinis dalam bekerja keras
bukan meraih kesuksesan tanpa pamrih. Artinya, kekayaan
material yang didapatkan
sebgai hasil dari
usaha tersebut bukanlah
tujuan utama, namun hanya sebagai konsekwensi logis
semata karena
sudah bekerja secara
maksimal. Yang menjadi
orientasi
dasar
dalam bekerja
keras
dalam
kelompok penganut Protestan Calvinis adalah upaya
untuk mengatasi kecemasan. Cemas, gundah
dan takut jika tetap berpangku tangan, maka
sebenarnya mereka telah melanggar perintah Tuhan dan tidak ada kebahagiaan dalam batin karena telah melanggar perintah tersebut.
Kekayaan material yang didapatkan diyakini oleh kelompok ini bukan karena
kerja keras yang telah mereka
lakukan, namun semata-mata
hanya sebagai hasil sampingan yang
tidak disengaja atas
kerja tersebut. Hasil
akhirnya adalah keberhasilan
untuk melaksanakan perintah Tuhan dan
keberhasilan mereduksi atau menghilangkan kegelisahan batin yang terjadi
pada diri mereka sendiri. Jadi bukan kekayaan yang menjadi orientasi utama
ketika bekerja keras dalam pandangan kelompok
Protestan Calvinis, namun kebahagiaan batinlah yang menjadi orientasi utama, karena kekayaan
ini hanya hasil sampingan
atas kerja, sedangkan tujuan awalnya adalah kebahagiaan batin.
0 komentar:
Posting Komentar