Dari 1.000 orang anggota MPR pada rekruitmen tahun 1997, sebanyak 575 orang yang berasal dari partai politik, utusan daerah, dan golongan diangkat oleh presiden. Rekruitmen untuk ketua MA (Mahkamah Agung), misalnya DPR mengajukan dua calon. Calon yang diajukan terlebih dulu mendapat isyarat persetujuan presiden dan kemudian salah satu orang dari calon tersebut diangkat oleh presiden. Demikian pula, untuk jabatan wakil ketua MA dan sejumlah Hakim Agung. Hal yang sama terjadi pula pada rekruitmen pimpinan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Begitu pula dengan rekruitmen di luar lembaga negara/pemerintah, seperti partai politik. Ketua partai politik direkrut atas dasar prinsip akomodatif. Artinya, mereka yang menunjukkan sikap kritis apalagi menentang pemerintah tidak akan dapat memimpin partai politik.
Dalam hal APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja negara) presiden sangat menentukan. Dalam hal ini DPR tidak mampu mengubah secara substantif apapun yang diajukan oleh Presiden. Anggaran tersebut kemudian didistribusikan ke daerah-daerah dalam bentuk DIP (Daftar Isian Proyek), inpres, dan banpres. Mekanisme anggaran seperti ini merupakan proses distribusi kekayaan negara yang membawa implikasi mobilisasi politik bagi kepentingan dukungan terhadap Presiden. Hal tersebut masih ditambah dengan atribut yang sifatnya personal yang disandang oleh presiden, seperti pengemban supersemar, mandataris MPR, dan bapak pembangunan. Dilihat dari pembagian kekuasaan sebagai alternatif pemisahan kekuasaan, tampak ketidakjelasan hubungan di antara lembaga tinggi negara. Misalnya, kalau MPR sebagai lembaga legislatif, seharusnya anggotanya tidak boleh merangkap sebagai pejabat eksekutif. Kenyataannya, sejumlah anggota MPR adalah para menteri, gubernur, dan pangdam. Artiya, mereka adalah pejabat eksekutif, bukan rakyat, sehingga makna perwakilan rakyat menjadi dipertanyakan.
Kemudian kalau kita memperhatikan birokrasi pemerintahan orde baru memiliki karakteristkik umum, yakni ketatnya hierarkhi dan legalistik. Coba kamu simak pendapat William Liddle (ahli politik tentang Indonesia dari Amerika Serikat) dalam memberikan gambaran karakteristik khusus tentang birokrasi era orde baru. Liddle menggambarkan sebagai berikut. Karakteristik khusus birokrasi Indonesia memiliki citra diri yang baik hati (benevolence). Dalam citra seperti ini, birokrasi di Indonesia mempunyai persepsi diri sebagai pelindung atau pengayom, pemurah, dan baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, mereka (birokrasi) juga mempunyai persepsi bahwa rakyat itu tidak tahu apa-apa alias bodoh dan oleh karena itu mereka (rakyat) masih perlu dididik. Karena birokrasi sudah benevolence, seharusnya rakyat harus patuh, taat, dan setia (obidience) kepada pemerintahnya. Pola hubungan yang bersifat benevolence–obidience inilah yang mewarnai secara dominan interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia.
Untuk memperkuat pola hubungan yang bersifat baik hati dan kepatuhan dalam interaksi pemerintah dengan rakyat diterapkan kebijakan depolitisasi (rakyat dijauhkan dari pemahaman yang kritis dan dibatasi partisipasi dalam bidang politik). Kebijakan depolitisasi dilakukan dengan cara menerapkan konsep ―massa mengambang (floating mass). Konsep massa mengambang ini memudahkan kontrol pemerintah terhadap partai politik nonpemerintah dan memudahkan pemerintah mewujudkan prinsip monoloyalitas bagi semua pegawai negeri. Begitu pula memudahkan upaya pengebirian (emaskulasi) bagi partai politik. Pengebirian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan melakukan penyederhanaan sistem kepartaian (regrouping) dari 10 partai politik dikelompokkan menjadi 3 partai politik (Golkar, PPP dan PDI). Kedua, dengan cara melakukan kontrol terhadap rekruitmen pimpinan utama partai politik, sehingga dihasilkan pimpinan partai politik yang akomodatif terhadap pemerintah.
Dengan perkataan lain interaksi pemerintah dengan rakyat yang bersifat baik hati dan kepatuhan, mengharuskan DPR, partai politik, organisasi massa, dan media pers harus menempatkan diri untuk menopang pemerintah. Anggota DPR yang vokal terhadap pemerintah dikenai recall. Partai politik yang mengembangkan sikap sebagai oposisi ditekan. Begitu pula pers yang kritis terhadap pemerintah dibredel. Pilar-pilar demokrasi seperti DPR, partai politik, dan media pers dalam kondisi sangat lemah. Namun angkatan bersenjata dalam kehidupan politik orde baru, terutama Angkatan Darat sebagai alat negara yang seharusnya memfokuskan diri pada fungsi pertahanan, justru memiliki peran politik sangat penting. Peranan politik sangat penting itu, terutama sebagai stabilisator dan dinamisator. Peranan politik Angkatan Darat terutama tampak melalui keterlibatannya di MPR, DPR, jabatan menteri, gubernur, dan bupati. Juga tampak melalui keterlibatannya dalam organisasi sosial dan politik, terutama di Golkar (Golongan Karya). Bahkan dari peranan politik kemudian merambah ke bidang ekonomi, olahraga, kesenian, dan bidang sosial kemasyarakatan yang lain. Peran dalam berbagai bidang tersebut dikenal sebagai ―Dwi Fungsi ABRI.
Dengan peran sebagai stabilisator dan dinamisator, militer tampak sebagai
pembentuk suasana agar semua kebijakan pemerintah Orde Baru dapat diimplementasikan dengan baik. Kemudian yang dirasakan dalam pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Sehingga pemerintahan Orde Baru dikenal mengembangkan sistem politik otoriter, bukan sistem politik demokrasi. Meskipun pemerintahan Orde Baru ketika itu menyebut dirinya mengembangkan demokrasi Pancasila.
0 komentar:
Posting Komentar