Selasa, 10 Desember 2013

Pertentangan- Pertentangan yang dapat dikatakan konflik




Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihak- pihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbe- da atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003).
Dalam   hubungannya   dengan   pertentangan   sebagai   konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions);  Ketiga,  mereka  biasanya  cenderung  menjalankan  perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan (Gurr, dalam Soetopo, 2001).
Konflik  dalam  pengertian  yang  luas  dapat  dikatakan  sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (anta- gonistik) (Indrawijaya). Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis menca- kup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003).
Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan dan ide (Mulyasa, 2003).
Hocker & Wilmot memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik sebagai an expressed struggle betwen at  least two interdependent parties who perceive incompatibel goal, scarce rewards, and interference from the other parties in achieving their goals. Seseorang  dikatakan  terlibat  konflik  dengan  pihak  lain  jika sejumlah ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing menyadari adanya  ketidaksepakatan itu.  Jika  hanya  satu  pihak  yang merasakan ketidaksetujuan, sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara dua pihak. Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum mereka berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri secara lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More