Mahalnya minyak
goreng hingga menembus batas psikologis pasar memicu munculnya
berbagai kecurangan. Di sejumlah kota di Jawa Timur yang banyak industri kecil, seperti Kediri,
Mojokerto dan Situbondo ditengarai beredar minyak
goreng curah oplosan. Minyak goreng yang dicampur dengan minyak jelantah yang dijernihkan kembali [baca: Stok Menipis, Harga Minyak
Goreng Terus Naik].
Penelusuran tim Sigi SCTV di Jakarta, belum lama berselang pun mendapati fakta
minyak goreng jelantah bekas restoran memang banyak diperjualbelikan. Jelantah yang sangat
kotor untuk bahan biodiesel yang tak terlalu rusak dijual kepada para pengusaha rumahan
berbagai jenis makanan. Penggunaan minyak goreng hingga berulang-ulang sampai berkali- kali, sepertinya sudah menjadi kebiasaan. Harga minyak goreng sangat mahal membuat usaha
kian
terjepit. Agar tak berbau tengik, sejumlah pengusaha menambah bahan kimia ke dalam minyak yang sudah berulang kali dipakainya. Penggunaan bahan kimia penjernih seperti H2O2 atau hidrogen peroksida yang sekarang ditengarai banyak disalahgunakan. Pemurnian minyak jelantah 100
hingga 150
jeriken setiap
pekan.
Pak Ajang kemudian menjual kembali ke pabrikan kerupuk dan pengusaha-pengusaha
gorengan langganannya seharga Rp 65 ribu. Jadi, omzet per minggu mencapai Rp 6,5 juta.
Penjernihan selain dnegan H2O2 menggunakan nasi kering, kemudian dua hingga tiga liter
dimasukkan
ke
kuali di atas kompor yang menyala. Minyak jelantah kemudian dicampur ke kuali. Setelah
24
jam, minyak jelantah
yang telah jernih itu disaring pelan-pelan ke jeriken
yang
bersih. Pertanyaan pun timbul. Layakkah minyak-minyak jelantah daur ulang yang menjadi bahan minyak oplosan itu dikonsumsi? Secara teoritis, minyak-minyak
bekas apalagi yang sudah
dipakai berulang-ulang lebih dari empat kali menggoreng jelas tak layak pakai. Terlebih, bila minyak-minyak
itu dijernihkan atau dimurnikan dengan memakai bahan kimia hidrogen
peroksida.
Uji Laboratorium menunjukkan minyak jelantah daur ulang itu memang sudah tak layak dikonsumsi.
Antara lain diperlihatkan dengan kandungan hidrogen peroksida yang tinggi dan
kadar asam lemak tak jenuhnya yang berkurang jauh. Ini jelas berbeda dengan standar minyak goreng yang sehat untuk dikonsumsi. Bahkan, upaya menjernihkan
minyak goreng itu bersifat racun terhadap tubuh meski hanya untuk bahan oplosan.
Pemurnian minyak goreng
memang dibolehkan, tapi harus menggunakan pemutih yang tidak bereaksi dengan minyak. Bahan yang lazim digunakan
adalah bleaching earth. Itu pun
kadarnya tak boleh melebihi satu persen. Namun, proses pemurnian
seperti itu tidak lazim
ditempuh oleh orang awam atau industri rumahan. Ini mengingat prosesnya
sulit dan membutuhkan alat yang rumit.
Sementara
hidrogen peroksida, sekalipun
sangat ampuh sama sekali tidak
diperbolehkan karena bersifat racun, Bahkan, sangat berpotensi menimbulkan radikal bebas
yang justru harus dihindari. Kini, konsumen haruslah lebih waspada. Dan perlu diingat,
minyak goreng daur ulang lazimnya berbau lebih menyengat,
memiliki warna lebih keruh dan cenderung cepat mengeluarkan
busa jika dipakai untuk mengggoreng.
Jadi, sebelum membeli
minyak goreng
maupun gorengan yang dibutuhkan atau hendak dikonsumsi harus
diteliti kembali apalagi ditawarkan dengan harga yang lebih murah dari pasaran umumnya.
0 komentar:
Posting Komentar