Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia menurut Rukman Amanwinata (Chaidir, 2007:21) berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constitutionel” (bahasa Prancis), “verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin), “fundamental laws” (Amerika Serikat). Selain istilah konstitusi, dikenal pula Undang-Undang Dasar(bahasa Belanda Grondwet). Perkataan wet diterjemahkan menjadi undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar (Dahlan Thaib, dkk, 2006:7).
Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka UUDdapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. UUD menentukan cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain,UUD merekam hubungan- hubungan kekuasaan dalam suatu negara. E.C.S Wade mengartikan UUD sebagai naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan- badan tersebut (Dahlan Thaib, dkk 2006:9).
Terhadap istilah konstitusidan UUD ini, beberapa ahli berbeda pendapat. Adasebagian ahli yang secara tegas membedakan keduanya, ada juga yang menganggapnya sama. L.J Van Apeldoornsalah satunya, membedakan secara jelas. Menurutnya, Istilah UUD(grondwet) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi,sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupunyang tidak tertulis. Sedangkan Sri Soemantri (1987:1) mengartikan konstitusisama dengan UUD.
Apa sebenarnya konstitusi itu? Menurut Brian Thompson (1997:3), secara sederhana pertanyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rulesfor the operation of an organization”. Bagi setiap organisasikebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legalbody, rechtspersoon). Demikian pula negara, pada umumnya, selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dalam pengertian modern, negara pertama yang dapat dikatakan menyusun konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang iniadalah Amerika Serikat (United States of America) pada tahun 1787. Sejak itu, hampir semua negara menyusun naskah undang-undang dasarnya. Beberapa negara yang dianggap sampai sekarang dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam satu naskah tertulis adalah Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. Undang-Undang Da- sar di ketiga negara ini tidak pernah dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusidari aturan dan pengalaman praktik ketatanegaraan.
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson (Asshiddiqie, 2005) sebagai: a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.
Dengan demikian, menurut Asshiddiqie (2005) ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ- organ negara, mengatur hubungan antara organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara. Inilah pengertian yang cukup mewakili dan komprehensif tentang konstitusi.
Dari beberapa pengertian konstitusi tersebut, kita dapat melihat bahwa hampir semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi se- bagaimana mestinya. Constitutions, menurut Ivo D. Duchacek (Asshiddiqie, 2005), adalah “identify the sources, purposes, uses and restraints of public power” (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan,
dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi.Oleh sebab itu pula, konstitutionalisme, seperti dikemukakan oleh Friedrich (Asshiddiqie, 2005), didefinisikan sebagai “an institutionalised system of effective, regularized restraints upon governmental action”. Dalam pengertian demikian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
Selain itu, terdapatpendapat beberapa sarjana terkait denganpengertian dan pemahamantentang konstitusi. Pandangan beberapa sarjana mengenai konsti- tusi dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya “Uber Verfassungswessen” (1862), membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
1. Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip). Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), yaitu misalnya raja, parlemen, kabinet, kelompok-kelompok penekan (preassure groups), partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatan- kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang dipahami sebagai konstitusi;
2. Pengertian juridis (juridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara. (Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, 1991:73) Ferdinand Lasalle sangat dipengaruhi oleh aliran pikiran kodifikasi, sehingga menekankan pentingnya pengertian juridis mengenai konstitusi. Disam- ping sebagai cermin hubungan antar aneka kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa yang tertulis di atas kertas UUD mengenai lembaga-lembaga negara, prinsip- prinsip, dan sendi-sendi dasar pemerintahan negara. yaitu
· Die politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti politis dansosiologis sebagai cermin kehidupan sosial- politik yang nyata dalam masyarakat;
· Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusidilihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
· Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah undang-undang dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. (Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988:65)
Menurut Hermann Heller, UUD yang tertulis dalam satu naskah yang ber- sifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah merupakan salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping konstitusiyang tertulis itu, segala nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas, juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya “Verfassungslehre“, Hermann Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1) Konstitusi dalam pengertian sosial-politik. Pada tingkat pertama ini, konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan karena memang mencerminkan keadaan sosial politik dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, melainkan tercerminkan dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat;
2) Konstitusi dalam pengertian hukum. Pada tahap kedua ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan. Konstitusi dalam pengertian sosial- politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut di atas, dianggap harus berlaku dalam kenyataan. Oleh karena itu,setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai ancaman sanksi yang pasti;
3) Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis. Pengertian yang terakhir ini merupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkembangan pengertian rechtsverfassung yang muncul sebagai akibat pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum (rechtseineheid), kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudiging), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).
Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya hanya sebagai undang-undang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis sebagaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi. Disamping UUD yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar